Namun anehnya, ketika mendapatkan
kepiting berikutnya, sekalipun juga segera dimasukkan ke dalam kepis
sebagaimana kepiting yang ditangkap sebelumnya, tempat ikan itu justru
tidak ditutup, tetapi dibiarkan begitu saja. Hal demikian itu mengundang
pertanyaan dari orang yang sedang melihatnya. Mengapa kepisnya tidak
ditutup setelah memasukkan kepiting yang ke dua, tidak sebagaimana
ketika ia memperoleh dan memasukkan kepiting yang pertama.
Dengan enteng, pemancing itu menjelaskan bahwa ketika kepiting itu
sendirian di dalam kepis, manakala tidak ditutup, akan mudah keluar dari
tempat itu. Sebaliknya, ketika kepiting itu sudah ada temannya justru
tidak akan bisa keluar. Sebab, manakala kepiting itu sedang sendirian
tidak ada kepiting lain yang mengganggu untuk keluar. Tetapi tatkala ada
dua ekor saja yang berada di dalam kepis, mereka akan menahan temannya
yang mau keluar. Kepiting yang mau keluar akan ditarik oleh temannya
sendiri. Akibatnya, kepiting-kepiting itu tidak akan bisa keluar semua
sekalipun kepisnya tidak ditutup.
Prof.I.Nyoman Sutantra, guru besar ITS Surabaya itu menjelaskan bahwa perilaku manusia ada saja yang persis seperti kepiting. Satu sama lain tidak ikhlas manakala temannya sukses, maju, atau keluar dari penderitaan. Di antara mereka sendiri saling mengganggu agar tidak sukses. Padahal seharusnya, perilaku manusia tidak seperti kepiting. Sesama manusia seharusnya saling mempermudah, mendorong, atau melapangnya usaha atau jalan hidup orang lain. Saling tolong menolong itulah kunci sukses dan maju.
Dikatakan oleh Guru Besar ITS itu, sebagai orang yang beragama, sehari-hari dalam hidupnya seharusnya mengembangkan perilaku mulia. Atas petunjuk ajaran agama masing-masing yang diyakini, setiap orang seharusnya berusaha meringankan beban orang lain. Prof. I. Nyoman mengajak peserta seminar, agar manusia tidak meniru kepiting. Namun disebutkan bahwa, sebenarnya bangsa ini dalam hal-hal tertentu masih belum terlalu jauh dari perilaku kepiting. Saling berebut, menghambat, dan bahkan jegal menjegal dianggap biasa. Akibatnya, sebagaimana kepiting, mereka sama-sama tidak mampu keluar dari keadaan yang tidak menyenangkan.
Tatkala mendengar ceramah Prof. I. Nyoman Sutantra, yang kebetulan sama-sama menjadi penceramah pada kegiatan seminar itu, saya teringat kisah lain, yaitu perilaku katak. Manakala kepiting antar temannya sendiri tidak mau bekerjasama, dan bahkan justru saling mengganggu, maka sebaliknya adalah katak. Antar sesama katak mampu bekerjasama, tetapi sayangnya, mereka tidak mau membagi hasilnya. Beberapa katak tatkala mencari makan, mereka bekerjasama. Tetapi celakanya, hasilnya dimakan sendiri, dan tidak mau membagi dengan teman-temannya yang sama-sama telah mengeluarkan keringat.
Dalam sebuah cerita, entah benar atau tidak, tatkala katak mau menangkap nyamuk yang kebetulan hinggap di tempat yang agak tinggi, dan tidak mungkin diraihnya sendirian, maka beberapa katak saling bergotong royong, bahu membahu. Beberapa katak itu menaiki punggung-punggung temannya, hingga membentuk semacam tangga yang tinggi. Akhirnya, katak yang berada pada posisi paling atas berhasil menangkap nyamuk dan kemudian memakannya sendiri.
Kerjasama antar katak dimaksudkan itu tidak membawa keadilan. Mereka tidak mau membagi hasil yang diperolehnya secara bersama-sama. Semua katak yang telah dijadikan pancatan tidak mendapatkan hasil apa-apa. Kenikmatan hanya dirasakan oleh katak yang berada di posisi paling atas. Sementara itu, bagi katak-katak yang lain hanya dijadikan alat. Untungnya, beberapa katak yang diperlakukan tidak adil itu tidak saling protes dan apalagi bertengkar. Itulah perilaku katak. Mereka hanya mementingkan dirinya sendiri dan tidak peduli sesamanya, sekalipun mereka telah berjuang dan berkorban bersama-sama.
Kisah fiktif dua jenis binatang itu, yakni kepiting dan katak, sebenarnya juga bisa tampak pada perilaku manusia. Ada saja orang yang kerjanya mengganggu orang lain sehingga semuanya tidak pernah memperoleh kemajuan. Perilaku mereka itu seperti kehidupan kepiting seperti cerita di muka. Sebaliknya ada juga yang meniru katak, hanya mementingkan dirinya sendiri. Tentu, manusia yang mengaku beragama, berpikiran sehat, dan memiliki hati nurani, tidak selayaknya meniru perilaku buruk kedua jenis binatang dimaskud. Manusia harus saling memberi manfaat terhadap yang lain. Dan, siapapun yang mampu memberi paling banyak manfaat terhadap yang lain, maka mereka itulah, yang disebut sebagai manusia terbaik. Wallahu a’lam. (copas from note Imam Suprayogo)
Catatan yang mengingatkan kita agar senantiasa saling membantu satu sama lain, bukan keegoisan yang dimunculkan dan kepentingannya sendiri yang didahlukan. Betapa nikmatnya jika hidup kita selalu dalam lingkaran tolong menolong dalam kebaikan.
Alhamdulillah...
Prof.I.Nyoman Sutantra, guru besar ITS Surabaya itu menjelaskan bahwa perilaku manusia ada saja yang persis seperti kepiting. Satu sama lain tidak ikhlas manakala temannya sukses, maju, atau keluar dari penderitaan. Di antara mereka sendiri saling mengganggu agar tidak sukses. Padahal seharusnya, perilaku manusia tidak seperti kepiting. Sesama manusia seharusnya saling mempermudah, mendorong, atau melapangnya usaha atau jalan hidup orang lain. Saling tolong menolong itulah kunci sukses dan maju.
Dikatakan oleh Guru Besar ITS itu, sebagai orang yang beragama, sehari-hari dalam hidupnya seharusnya mengembangkan perilaku mulia. Atas petunjuk ajaran agama masing-masing yang diyakini, setiap orang seharusnya berusaha meringankan beban orang lain. Prof. I. Nyoman mengajak peserta seminar, agar manusia tidak meniru kepiting. Namun disebutkan bahwa, sebenarnya bangsa ini dalam hal-hal tertentu masih belum terlalu jauh dari perilaku kepiting. Saling berebut, menghambat, dan bahkan jegal menjegal dianggap biasa. Akibatnya, sebagaimana kepiting, mereka sama-sama tidak mampu keluar dari keadaan yang tidak menyenangkan.
Tatkala mendengar ceramah Prof. I. Nyoman Sutantra, yang kebetulan sama-sama menjadi penceramah pada kegiatan seminar itu, saya teringat kisah lain, yaitu perilaku katak. Manakala kepiting antar temannya sendiri tidak mau bekerjasama, dan bahkan justru saling mengganggu, maka sebaliknya adalah katak. Antar sesama katak mampu bekerjasama, tetapi sayangnya, mereka tidak mau membagi hasilnya. Beberapa katak tatkala mencari makan, mereka bekerjasama. Tetapi celakanya, hasilnya dimakan sendiri, dan tidak mau membagi dengan teman-temannya yang sama-sama telah mengeluarkan keringat.
Dalam sebuah cerita, entah benar atau tidak, tatkala katak mau menangkap nyamuk yang kebetulan hinggap di tempat yang agak tinggi, dan tidak mungkin diraihnya sendirian, maka beberapa katak saling bergotong royong, bahu membahu. Beberapa katak itu menaiki punggung-punggung temannya, hingga membentuk semacam tangga yang tinggi. Akhirnya, katak yang berada pada posisi paling atas berhasil menangkap nyamuk dan kemudian memakannya sendiri.
Kerjasama antar katak dimaksudkan itu tidak membawa keadilan. Mereka tidak mau membagi hasil yang diperolehnya secara bersama-sama. Semua katak yang telah dijadikan pancatan tidak mendapatkan hasil apa-apa. Kenikmatan hanya dirasakan oleh katak yang berada di posisi paling atas. Sementara itu, bagi katak-katak yang lain hanya dijadikan alat. Untungnya, beberapa katak yang diperlakukan tidak adil itu tidak saling protes dan apalagi bertengkar. Itulah perilaku katak. Mereka hanya mementingkan dirinya sendiri dan tidak peduli sesamanya, sekalipun mereka telah berjuang dan berkorban bersama-sama.
Kisah fiktif dua jenis binatang itu, yakni kepiting dan katak, sebenarnya juga bisa tampak pada perilaku manusia. Ada saja orang yang kerjanya mengganggu orang lain sehingga semuanya tidak pernah memperoleh kemajuan. Perilaku mereka itu seperti kehidupan kepiting seperti cerita di muka. Sebaliknya ada juga yang meniru katak, hanya mementingkan dirinya sendiri. Tentu, manusia yang mengaku beragama, berpikiran sehat, dan memiliki hati nurani, tidak selayaknya meniru perilaku buruk kedua jenis binatang dimaskud. Manusia harus saling memberi manfaat terhadap yang lain. Dan, siapapun yang mampu memberi paling banyak manfaat terhadap yang lain, maka mereka itulah, yang disebut sebagai manusia terbaik. Wallahu a’lam. (copas from note Imam Suprayogo)
Catatan yang mengingatkan kita agar senantiasa saling membantu satu sama lain, bukan keegoisan yang dimunculkan dan kepentingannya sendiri yang didahlukan. Betapa nikmatnya jika hidup kita selalu dalam lingkaran tolong menolong dalam kebaikan.
Alhamdulillah...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !