Ketika kami baru mengenal da’wah salafiyah, sering kami memandang anak-anak
ummahat yang lucu-lucu, sambil membayangkan betapa bahagianya mereka dididik
oleh orang tua yang sudah mengenal dan memahami da’wah yang mulia
ini.
Senang rasanya membayangkan kelak mereka akan menjadi generasi
yangtangguh yang dididik sejak dini dengan pemahaman generasi terbaik
ummat. Dibandingkan dengan kami yang baru mengenal,yang melewati masa
remaja tanpa mengenal manhaj yang haq ini, tentu sangat jauh.
Sekian tahun telah berlalu, kini anak-anak kecil itu telah tumbuh menjadi remaja
dan anak dewasa. Apakah mereka seperti yang kami bayangkan,menjadi remaja
atau generasi yang berahlak mulia, menjadi tentara-tentara assunnah, menjadi
generasi yang mencintai ilmu dan mengamalkannya? Sayang sekali ternyata
sebagian dari mereka tidak seperti itu. Justru sebaliknya, banyak diantara
mereka tumbuh menjadi generasi yang pincang, generasi yang layu sebelum
berkembang.
Kenapa bisa?
Kenapa bisa?
Tulisan ini hendak menyampaikan kepada pembaca tentang fenomena adanya
pola pendidikan yang kurang tepat.
Ma’had Islam
sebagai Alternatif Pendidikan
Pendidikan anak sekarang adalah mendidik generasi yang akan datang. Sementara itu kita menyadari benar bahwa sekian tahun kedepan akan banyak
tantangan kehidupan dan sekian banyak kemajuan teknologi yang disisi lain
memberikan percepatan laju kerusakan moral.
Dunia kini dan akan datang penuh syubhat dan syahwat dan semakin meningkat tingkat kerusakannya. Untuk masa seperti itulah saat ini kita mempersiapkan generasi yang bisa menghadapinya.
Dunia kini dan akan datang penuh syubhat dan syahwat dan semakin meningkat tingkat kerusakannya. Untuk masa seperti itulah saat ini kita mempersiapkan generasi yang bisa menghadapinya.
Melihat tantangan yang demikian besar,orang tua yang mempelajari
Islam dari sumber yang jernih danpemahaman yang benar memandang bahwa
pendidikan umum yang ada tidaklah bisa mencetak generasi yang tangguh.
Disana tidak banyak diajarkan ahlak Islam, hapalan Al Qur’an, Al Hadits, aqidah yang benar, bahayanya syirik dan cabang-cabang bahasannya.
Justru di sekolah umum itu banyak terjadi ikhtilat (campur aduk laki-laki perempuan, sehingga anak SD-pun sudah mengenal istilah‘pacar’), tidak adanya pemantauan pergaulan di luar, tidak adanya pantauan akhlak Islam dan berbagai ajaran yang tidak sesuai dengan pemahaman Islam yang benar yang akan terlalu panjang untuk dirinci.
Apalagi ketika melihat sistim nilai di sekolah umum banyak yang dimanipulasi dan berbagai ketidakjujuran dalam ujian yang sempat diekspos media beberapa waktu yang lalu.
Disana tidak banyak diajarkan ahlak Islam, hapalan Al Qur’an, Al Hadits, aqidah yang benar, bahayanya syirik dan cabang-cabang bahasannya.
Justru di sekolah umum itu banyak terjadi ikhtilat (campur aduk laki-laki perempuan, sehingga anak SD-pun sudah mengenal istilah‘pacar’), tidak adanya pemantauan pergaulan di luar, tidak adanya pantauan akhlak Islam dan berbagai ajaran yang tidak sesuai dengan pemahaman Islam yang benar yang akan terlalu panjang untuk dirinci.
Apalagi ketika melihat sistim nilai di sekolah umum banyak yang dimanipulasi dan berbagai ketidakjujuran dalam ujian yang sempat diekspos media beberapa waktu yang lalu.
Dari ketidakpercayaan lembaga pendidikan umum itulah para orang tua
mencarisolusinya. Ada yang memasukkan anaknya ke pendidikan umum
yang dipandang paling minim kerusakannya, ada yang tetap memasukkan
kedalam sekolah umum dan diberikan bimbingan selepas sekolah, ada yang membuat
home scholling dan yang paling praktis memasukkan anaknya kedalam
ma’had.
Sebagian berhasil dididik dengan baik, sebagian lagi gagal.
Sebagian berhasil dididik dengan baik, sebagian lagi gagal.
SebagianFenomena
Itu…
Seorang ibu dari tiga anak, dua laki-lakidan satu perempuan, sebutlah Ummu
Fulan, menyatakan,
”Anak-anak yang sejak kecil dipondokkan, setelah dewasa dan keluardari pondok penghinaannya terhadap sunnah justru melebihi orang awam”.
”Anak-anak yang sejak kecil dipondokkan, setelah dewasa dan keluardari pondok penghinaannya terhadap sunnah justru melebihi orang awam”.
Ketika didesak lebih lanjut untukmembuktikan pernyataannya,
Ummu Fulan ini menyatakan,”Ada yang bertato. Anaknya Ust Fulan sudah punya cewe’ (pacaran). Bahkan anaknya Fulanah (yang mondok disebuah ma’had, pen.) yang baruberumur 12 tahun bisa bilang ke umminya ‘Mi, hubungan baina zaujain itu diawalibegini, kemudian baru begitu, begini…’. Umminya kaget banget, terus cerita ke aku, jadi kalau yang cuma sukamain PS itu belum apa-apanya”
Ummu Fulan ini menyatakan,”Ada yang bertato. Anaknya Ust Fulan sudah punya cewe’ (pacaran). Bahkan anaknya Fulanah (yang mondok disebuah ma’had, pen.) yang baruberumur 12 tahun bisa bilang ke umminya ‘Mi, hubungan baina zaujain itu diawalibegini, kemudian baru begitu, begini…’. Umminya kaget banget, terus cerita ke aku, jadi kalau yang cuma sukamain PS itu belum apa-apanya”
“Itu yang
banin (anak-anak laki-laki, pen.)”, kata Ummu Fulan sebelum
melanjutkaninformasinya.
Dia melanjutkan lagitentang fenomena yang terjadi di sebagian bannat (anak-anak perempuan).
Dia melanjutkan lagitentang fenomena yang terjadi di sebagian bannat (anak-anak perempuan).
“Mereka
(tentu yang dimaksud sebagianmereka, pen.) pakai niqobnya cuma menutup lobang
hidung dan mulut,sementara seluruh make up matadipakai. Kerudungnya
disingkap ke lengansambil jalan berlenggok. Mereka biasaberhubungan (komunikasi,
pen.) dengan lawan jenis memakai HP. Maka jangan heran kalau ada yang
sampai maudilamar preman karena pernah ketemuan di sebuah tempat wisata, dan
masih banyaklagi…”.
Seorang bapak dari empat anak, duaperempuan dan dua laki-laki, menceritakan
kisah pendidikan anak tertuanya (laki-laki) yang kini dia
katakan‘futur’. Sang bapak ini menceritakan kisahnya ketika kami bertemu
di depan masjid sebuah madrasah (sekolah).
Anaknya ini (sebutlah namanya Zain) tadinya sekolah di SD negeri. Setelah orangtuanya makin dalam ngaji dan semangat untuk mensekolahkan anaknya di pondok,maka ketika kelas dua Zain disekolahkan di sebuah ma’had tahfidzul Qur’an.
Setiap hari orang tuanya antar jemput ke ma’had. Prestasi Zain cukup bagus, ranking satu terus di ma’had. Satu tahun berlalu belum nampak permasalahan yang berarti.
Ketika naik kelas tiga,anaknya dipondokkan. Di usia tersebut sang anak harus belajar mandiri, tinggal di ma’had dengan sekian banyakteman-temannya dan sekian banyak karakter anak. Sang anak secara mandiri berusaha memecahkan berbagai permasalahansehari-hari.
Ma’had memberikan peraturananak boleh pulang libur paling cepat dua bulan sekali. Jadi, waktu efektif sang anak ketemu denganorang tuanya hanya setelah dua bulan tinggal di ma’had.
Dari sini mulailah permasalahan itu muncul…
Anaknya ini (sebutlah namanya Zain) tadinya sekolah di SD negeri. Setelah orangtuanya makin dalam ngaji dan semangat untuk mensekolahkan anaknya di pondok,maka ketika kelas dua Zain disekolahkan di sebuah ma’had tahfidzul Qur’an.
Setiap hari orang tuanya antar jemput ke ma’had. Prestasi Zain cukup bagus, ranking satu terus di ma’had. Satu tahun berlalu belum nampak permasalahan yang berarti.
Ketika naik kelas tiga,anaknya dipondokkan. Di usia tersebut sang anak harus belajar mandiri, tinggal di ma’had dengan sekian banyakteman-temannya dan sekian banyak karakter anak. Sang anak secara mandiri berusaha memecahkan berbagai permasalahansehari-hari.
Ma’had memberikan peraturananak boleh pulang libur paling cepat dua bulan sekali. Jadi, waktu efektif sang anak ketemu denganorang tuanya hanya setelah dua bulan tinggal di ma’had.
Dari sini mulailah permasalahan itu muncul…
Sang bapak memperhatikan anaknya di rumah nampak sering melamun.
Ketika itu kami (yang sedang mendengarkan ceritanya) menanyakan sebabnya anaknya
melamun, dia menjawab,
”Mungkin beban di pondok dan kekerasan yang ada disana…”.
”Mungkin beban di pondok dan kekerasan yang ada disana…”.
Sang bapak menceritakan pola asuh di ma’had yang penuh dengan kekerasan. Dari sang bapak dan sumber lain, inilah sebagian kejadian yang ada:
-Ada anak yang
terlambat shalat jama’ah kemudian dipanggil ke kantor. Disana dicerca,
dicaci, dan tangannya dipukul dengan kabel.
-Ada anakyang
bermain di masjid, kemudian dihukum dengan disuruh push up 100X dan sit
up50X. (Waktu itu sempat saya tanya kuranglebih, “Apa bener
push up 100X, lha wong saya saja di SMApaling 50X, mereka kan masih SD?”. Dijawab
dengan yakin benar bahwa hukumannya diantaranya push up 100X)
-Ada anakyang dihukum dengan dijemur
dari jam 9 pagi sampai menjelang dhuhur. Sekalipun anaknya menangis tetap
dibiarkan.
-Ada anakyang kedapatan main HP
kemudian diminta HP-nya tapi malah disembunyikan dibalik sarungnya akhirnya
anak tersebut dipukul kepalanya (hal ini disaksikan sendiri oleh adik sang
pengasuh yang mondok di ma’had tersebut, kejadiannyabaru beberapa bulan yang
lalu).
-Ada anakyang dijewer dengan keras
sampai menimbulkan pendarahan di telinga.
Bentakan,
cacian di depan orang banyak,ejekan bahkan terkadang membawa nama orang tua,
pukulan, sabetan dan sebagainyakerap diterima oleh anak-anak ketika mereka berbuat
kesalahan.
Asaatidz atau pengasuh sangat ditakuti olehanak-anak. Ketika mereka berbuat kesalahan, hal salah yang dulu mereka lakukan sering juga diungkit di kantor ketika sidang.
Anak-anak dilarang memegang HP, dilarang internet, tetapi kesemuanya dilakukan tanpa bimbingansehingga anak-anak merasa bebas ketika diluar ma’had tanpa mengetahui bahayanya sarana IT tersebut dibalik sisi positifnya. Di ma’had saat itu jarang waktu dan sarana bermain.
Yang ada adalah pola pendidikan yang ketat,dengan jadwal padat, anak-anak ditempa terus untuk menghapalkan Al Qur’andisamping pelajaran penunjang lainnya.
Asaatidz atau pengasuh sangat ditakuti olehanak-anak. Ketika mereka berbuat kesalahan, hal salah yang dulu mereka lakukan sering juga diungkit di kantor ketika sidang.
Anak-anak dilarang memegang HP, dilarang internet, tetapi kesemuanya dilakukan tanpa bimbingansehingga anak-anak merasa bebas ketika diluar ma’had tanpa mengetahui bahayanya sarana IT tersebut dibalik sisi positifnya. Di ma’had saat itu jarang waktu dan sarana bermain.
Yang ada adalah pola pendidikan yang ketat,dengan jadwal padat, anak-anak ditempa terus untuk menghapalkan Al Qur’andisamping pelajaran penunjang lainnya.
Hasilnya, anak-anak memang banyak yanghapalan
Al Qur’annya bagus. Akan tetapiahlaq mereka tidak terdidik.
Sebagianmereka justru akhirnya trauma dengan ma’had. Ketika mulai kelas 5
dan 6 disaat tubuh mereka semakin besar, keinginanmemberontak semakin
kuat.
Merekapun engganmelanjutkan sekolah di ma’had. Dari satudesa yang bareng dengan Zain, selepas dari ma’had tidak ada yang melanjutkan kema’had tetapi ke sekolah umum.
Sang pengasuh menyebut angka sekitar 60% pada keluar dari ma’had dalam kondisibermasalah, penuh rasa dendam kepada pengasuh ma'had dan trauma dengan yangnamanya pondok/ma'had. Dan parahnyalagi, ajaran-ajaran Islam yang selama ini dipelajari di ma’had hampir tidak adabekasnya sama sekali pada diri Zain yang terlanjur trauma dengan ma’had dengansistim kekerasan yang diterimanya.
Inilah barangkali yang menyebabkan pernyataan seorang ummahat,
”Anak-anak yang sejak kecil dipondokkan, setelah dewasa dan keluar daripondok penghinaannya terhadap sunnah justru melebihi orang awam”.
Merekapun engganmelanjutkan sekolah di ma’had. Dari satudesa yang bareng dengan Zain, selepas dari ma’had tidak ada yang melanjutkan kema’had tetapi ke sekolah umum.
Sang pengasuh menyebut angka sekitar 60% pada keluar dari ma’had dalam kondisibermasalah, penuh rasa dendam kepada pengasuh ma'had dan trauma dengan yangnamanya pondok/ma'had. Dan parahnyalagi, ajaran-ajaran Islam yang selama ini dipelajari di ma’had hampir tidak adabekasnya sama sekali pada diri Zain yang terlanjur trauma dengan ma’had dengansistim kekerasan yang diterimanya.
Inilah barangkali yang menyebabkan pernyataan seorang ummahat,
”Anak-anak yang sejak kecil dipondokkan, setelah dewasa dan keluar daripondok penghinaannya terhadap sunnah justru melebihi orang awam”.
Dalam sebuah dauroh tahun ini, menjelang shalat penulis bertemu
denganseorang ikhwah dari sebuah kota. Singkatcerita, penulis menanyakan
tentang anaknya dan pendidikan yang dijalani sanganak.
Sang bapak itu menyampaikan bahwaanaknya itu sekarang kelas 3, mondok disebuah ma’had. Ma’had tempat sang anakdengan rumah bapaknya itu sangat jauh, sekitar 9 jam perjalanan. Melihat jauhnya perjalanan dan usia sang anakyang masih kecil, sejenak penulis terdiam. Sang bapak nampaknya memahami terdiamnya penulis seakan bertanya,''Sekecil itu sudah dipondokkan dan jauhdari orang tua?”
Sang bapak itu menyampaikan bahwaanaknya itu sekarang kelas 3, mondok disebuah ma’had. Ma’had tempat sang anakdengan rumah bapaknya itu sangat jauh, sekitar 9 jam perjalanan. Melihat jauhnya perjalanan dan usia sang anakyang masih kecil, sejenak penulis terdiam. Sang bapak nampaknya memahami terdiamnya penulis seakan bertanya,''Sekecil itu sudah dipondokkan dan jauhdari orang tua?”
Tanpa ditanya, sang bapak menceritakan kondisi anaknya dengan penuh
penyesalan.
Ketika masih kelas 1, tanda-tanda penyimpangan belum nampak. Tetapi begitu kelas 2 dan kini menginjakkelas 3, sang bapak kecewa dengan sikap anaknya.
Ketika di rumah, sama sekali sang anak tidakmau patuh dengan orang tua. Anak engganmuraja’ah, disuruh melakukan pekerjaanyang ringan sekalipun sang anak tidak mau mengerjakannya. Hubungan emosional antara anak dan orang tuasangat renggang. Ketika di rumah, sang anak maunya main dan main terus dari apa saja permainan yang bisa dilakukan. Sang bapak akhirnya merencanakan akan mengambil anaknya untuk disekolahkan di tempat pendidikanterdekat sebelum kondisi anaknya makin parah.
Ketika masih kelas 1, tanda-tanda penyimpangan belum nampak. Tetapi begitu kelas 2 dan kini menginjakkelas 3, sang bapak kecewa dengan sikap anaknya.
Ketika di rumah, sama sekali sang anak tidakmau patuh dengan orang tua. Anak engganmuraja’ah, disuruh melakukan pekerjaanyang ringan sekalipun sang anak tidak mau mengerjakannya. Hubungan emosional antara anak dan orang tuasangat renggang. Ketika di rumah, sang anak maunya main dan main terus dari apa saja permainan yang bisa dilakukan. Sang bapak akhirnya merencanakan akan mengambil anaknya untuk disekolahkan di tempat pendidikanterdekat sebelum kondisi anaknya makin parah.
Fenomena anak-anak pondokan yang jauh dariorang tua banyak kita temui.
Saat-saatiedul fitri bagi anak-anak kaum muslimin pada umumnya merupakan
momen yang banyak ditunggu. Saat itu anak-anak bertemu dan bermain
dengan saudara-saudaranyayang lain dan biasanya juga para orang tua menjadikan
momen liburan sebagaiwaktu untuk rekreasi. Intinya, hari rayapenuh dengan
kebahagiaan berkumpul dengan keluarga. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku
bagianak-anak pondokan yang terlanjur jauh dengan orang tua. Saat-saat
iedul fitri, mereka lebih memilihuntuk tetap tinggal di ma'had. Tinggalnya
di ma'had bisa karena pilihan sendiri atau karena orangtuanya tidak
menjemputnya, dan si anak yang hubungan dengan ortu dan keluarganyaitu renggangenjoy saja
di ma'had.
Renggangnya hubungan dengan orang tua darianak-anak pondokan yang dimasukkan ke
pondok sejak kecil makin parah seiringberjalannya waktu. Mereka
sepertianak-anak yatim piatu yang tidak pernah mendapatkan belaian kasih sayang
dariorang tuanya. Jangankan surat atautelepon, sms saja sangat
jarang. Anak-anak itu tumbuh dan berkembang kejiwaannya di
lingkunganpondok. Masih mending kalau disanamereka mendapatkan belaian
kasih sayang dari pengasuh dan asaatidz yangada. Ketika kebetulan mereka
berada dima'had yang penuh dengan kekerasan, maka jiwa mereka akan tertekan
seolahberada di penjara dengan sekian penjaga yang bengis. Anak-anakini
yang semakin berkembang tubuh dan kejiwaannya, manakala jiwanya terusmenerus
tertekan, menyimpan dendam kepada para pengasuhnya, haus akan kasihsayang, maka
pada suatu saat akan 'meledak'.
Bertolak belakang dengan ma’had yang penuhdengan aturan ketat, sebagian
yang lainlagi memberikan aturan yang longgar. Secara resmi memang
tidak longgar. Hanya saja banyaknya santri dan sedikitnya pengasuh
menjadikan adanyapenjaga seolah seperti tidak ada. Santri bebas
keluar masuk area ma’had tanpa pengawasan yang ketat.
Pergaulananak diluar ma’had sama sekali tidak terpantau oleh ortu dan
pengasuh. Ketika malam hari sebagian santri bebas kewarnet bahkan sampai
bermalam disana. Berbagai kasus kelakuan buruk santri
diluarpondok akhirnya terjadi.
Masa Depan
Generasi yang Futur
Orang tua berharap di ma’had sang anakmendapatkan pendidikan yang
baik. Orangtua banyak yang ‘pasrah bongkokan’
kepada lembagapendidikan tanpa memberikan pantauan sehari-hari, ini merupakan
kesalahan. Ketikaanaknya ternyata bermasalah, merekapun
kaget. Yang mereka tahu anaknya sedang mondok, berangat dari rumah
untukbelajar. Selepas keluar atau dikeluarkandari pondok, anak-anak yang
trauma ini bingung mau disekolahkan kemana.
Kasus yang menimpa Zain sebagai contoh diawal tulisan ini, sebagai anak yang
berprestasi, rangking pertama terus dalampendidikannya di pondok, oleh
ustadznya dipilih satu dari sepuluh anak pilihandalam tahfidz,
tetapi akhirnya harus dikeluarkankarena dianggap nakal (dan fakta menunjukkan
akhirnya Zain terjerumus kedalamberbagai kenakalan yang parah).
Akhirnya daripada tidak sekolah (sementarasudah trauma dengan yang
namanya ma’had), Zain disekolahkan di SMP milik yayasan sebuah
organisasi keagamaan.
Demikiankisah Zain, sosok yang bunga yang layusebelum mekar. Ia
bersama teman-temanseangkatannya ‘keluaran’ pondok kinibersekolah di
SMP umum yang tidakdidirikan diatas syariat Islam. Orangtua Zain
sedang berusaha merintis kembali agar Zain bangkit dan mau mempelajaridan mengamalkan
Islam dengan lebih baik lagi. Kita tentu berharap akhir yang baik
baginya...
Ledakan
Itu...
Bagi para pembaca, saya yakin dulu pernahmengenyam pendidikan SD. Saat
itu kitasangat hormat dan patuh kepada bapak dan ibu guru. Ketika di
jalan bertemu dengan guru, kitaberikan salam penghormatan. Di
sekolahtidak akan berani berbuat kurang ajar kepada guru, baik dengan perkataan
maupunperbuatan. Apakah yang seperti ituberlaku bagi ma'had yang penuh
anak-anak bermasalah?
Anak-anak yang setiap hari mengalamipenyiksaan fisik (dengan hukuman fisik),
mental (dengan cacian, hinaan) dankekerasan verbal (bentakan), apa
yangmereka terima tertanam dalam jiwa. Merekaada yang mengungkapkan
kekesalannya dalam bentuk tulisan. Ada yang menulis "Ustadz
fulanb******", "Ammi fulan a**" dan lainnya. Sebagian
mereka berangan-angan mempunyaifisik yang besar hingga bisa melawan kekerasan
yang mereka alami.
Diantara puncak ledakan dari berbagaipermasalahan yang dialami di ma’had itu
adalah enggan untuk mondok, engganuntuk belajar di ma’had. Dari
kebenciankepada pengasuh, asaatidz dan ma’had, akhirnya berimbas kepada
membenci ilmuyang mereka ajarkan. Kebencian kepadailmu berimbas kepada
keenganan untuk mengamalkan. Mereka, anak-anak yang trauma ini, berusahamenghilangkan
setiap kenangan buruk di ma’had dan menghilangkan segala sesuatuyang bisa
mengingatkan dengan ma’had. Maka tidak heran kalau anak-anak yang
layu sebelum berkembang itu hampirtidak ada bekas secara lahiriah bahwa
ternyata mereka pernah sekian tahun dima’had, bahwa mereka pernah hapal sekian
juz dari Al Qur’an, bahwa merekapernah berpenampilan sesuai dengan sunnah.
Pola
Pergaulan dalam Ma’had
Ketika berada di kelas, santri adalah‘milik’ ustadz yang mengajar. Ketika
diluar kelas, santri adalah ‘milik’ para pengasuh (‘ammi atau ‘ammah).
Ketika pengasuh tidak ada, santri adalah‘milik’ santri lain yang lebih
kuat. Kondisi yang kedua dan ketiga didalam ma’had lebih banyak
waktunya.
Dengan keterbatasan waktu dan tenaga yangdimiliki, seorang ustadz berusaha
memberikan materi dengan sebaik-baiknya. Ustadz juga memberikan perhatian
kepada parasantri terhadap perilaku anak didiknya. Akan tetapi,
apalah daya seorang ustadz. Dengan sedikitnya asaatidz sementara
yangdihadapi adalah ratusan santri dengan sekian banyak permasalahannya,
jelasperhatian ustadz kurang efektif.
Lapis kedua yang membimbing anak adalahpara pengasuh, ‘ammi untuk banin dan
‘ammah untuk banat. Mereka lulusan dari berbagai ma’had atauorang yang
telah sekian lama menuntut ilmu. Akan tetapi, sedikitnya pengasuh,
banyaknya santri, kurangnya kemampuan dalam membina santri,tidak adanya
SOP (standar operasional) yang jelas, menjadikan mereka berpikirdan
‘berimprovisasi’ sendiri menangani anak-anak yang melanggar peraturan.
Bentakan dan hukuman fisik secara ‘instan’memang nampak efektif dalam sesaat
menahan laju kenakalan. Akan tetapi, makin hari dosis hukuman akansemakin
meningkat seiring ‘terbiasanya’ anak dengan hukuman. Makin keras dan
makin keras.
Lapis ketiga yang ‘membimbing’ anak adalahsantri yang lain. Bahasa,
perilaku dankebiasaan dari santri akan saling berpengaruh. Yang mempunyai
fisik kuat, dia akan merajai. Yang mampu mengorganisir teman-temannya,
dia akanmembuat semacam geng terselubung di ma’had. Akhirnya yang lemah
akan semakin tertekan. Ketika mendapat perlakuan buruk
dariteman-temannya, dia tidak ada tempat mengadu. Akhirnya dia mendapat
tekanan baik fisik maupun mental dan berujungkeinginan untuk keluar dari
ma’had.
Benarkah
Nakal?
Ketika memarahi anak, sebagian pengasuhmemberikan julukan buruk: anak nakal,
tidak pakai otak, tidak bisa diatur,biang kerok dan julukan buruk
lainnya. Padahal penyebutan ini secara berulang akan berakibat buruk bagi
anak.
Seorang anak apabila mendapatkan julukannakal secara berulang dari berbagai
pengasuh dan banyak orang, dia akan yakindirinya memang nakal dan akan
melakukan tindakan sesuai dengan predikat yangdisandangnya. Awalnya
memang sebutanitu tidak dia inginkan. Dia merasakankepedihan dengan
predikat nakalnya. Akhirnya dia terbiasa dan berusaha melawannya dengan
kenakalan yanglebih besar lagi. Bisa jadi sebetulnyadia awalnya anak yang
baik. Hanya sajaketika lingkungan menggelarinya sebagai anak nakal,
padahal bisa jadi‘kenakalannya’ karena ketidak tahuannya atau karena rasa ingin
tahunya, makaakhirnya iapun menjadi anak yang nakal sesungguhnya dan makin
parah.
Seorang anak yang dilarang memegang HP,internet, Play Station, merokok, bergaul
bebas dengan berbagai kalangan di luardan lainnya, ketika masih kelas 1-3 SD
barangkali masih nurut. Akan tetapi ketika usianya semakin bertambah,rasa
keingin tahuannya semakin besar dan sarana untuk itu (HP, internet,
PS,pergaulan bebas) terpampang diluar ma’had (kan tidak mungkin seorang anakterkungkung
di pondok terus?). Pengetahuan atau bimbingan terhadap sarana yang
mempunyai dua sisiseperti HP dan internet kurang dia dapatkan. Disisi lain
dia melihat asaatidz dan pengasuh ma’had bebas ber-HP-riadan ma’had sendiri
mempunyai situs internet atau alamat di internet untukmengakses informasi dari
ma’had. Makasang anak dalam posisi kebingungan. Apanya
yang salah dari gadget tersebut? Maka ketika kemudian dia mengakses
internet di warnet yang bertebarandisekitar ma’had dan ,
berkomunikasikepada sekian banyak kalangan lewat HP diluar ma’had,
main PS sampai tertidur di rentalan dsb,dapatkah mereka disalahkan begitu saja?
Makna ‘nakal’ itu sendiri perludidefinisikan ulang. Anak adalah
sosokyang masih bersih fitrahnya. Bagaikankertas, ia adalah kertas yang
masih putih polos tanpa noda. Maka ketika sang anak bertindak sesuatu
yangmenurut kita nakal, perlu dipertanyakan darimana kenakalan itu
muncul? Seberapa jauh orang tua memberikan bimbingandan pengawasan kepada
anak? Kalau anakdipondokkan, seberapa jauh kebutuhannya bisa
terpenuhi? Kebutuhan disini termasuk didalamnyakebutuhan akan rasa aman,
kebutuhan akan kasih sayang, kebutuhan akanperhatian, kebutuhan akan sifat
dasar anak yaitu bermain, kebutuhan untukmengembangkan emosi dan sosialnya
serta yang lainnya.
Sikap bandel barangkali karena dia ingindiperhatikan, haus akan kasih
sayang. Anak yang asyik menggambar ketika pelajaran berlangsung barangkali
karenakeinginan untuk berimajinasi atau berkreasi tidak tersalurkan dengan baik.
Anak yang suka lari-lari di masjid mungkinkarena sarana dan waktu olah raga
yang kurang. Anak yang mulai dekat dengan sekelompok anak muda ugal-ugalan
diluarrumah atau ma’had, mungkin karena mereka yang bisa menerima dia,
sementaraketika di ma’had atau di rumah isinya disalah-salahkan dan diberi
sikapkeras. Anak yang tidak betah di rumahatau ma’had, mungkin karena ia
sekedar kita jadikan obyek, seperti robot yangdiisi program, bukan kita jadikan
sahabat atau teman bermain berbagi suka danduka. Maka ketika melihat anak yang
kita pandang nakal, cobalah dekati, tatapmatanya dengan lembut, berbicaralah
dari hati ke hati, cari apa yang diainginkan (lihat Menghukum dengan
Cerdas). Sampaikan bahwa apa yang ia lakukan tidakbenar dan carilah
solusi agar perbuatannya itu dicarikan alternatif yangbaik. Setelah itu
dibahas bersamahukuman apabila melanggar dengan sengaja.
Kenapa Bisa
Begitu?
Fenomena banyaknya santri yang futurjustru setelah dimasukkan ke pondok
pesantren, menurut hemat kami terjadikarena beberapa faktor:
1.
Keterbatasan Sarana dan Prasarana
Banyakma’had
yang didirikan dengan sarana yang terbatas. Anak-anak bisa belajar dan
istirahat denganbaik. Hanya saja kebutuhan mereka untukbermain dan
mengeksplorasi alam semesta kurang diberikan sarana yangmemadai. Sarana
tersebut tidak harusmahal, yang penting bisa menumbuhkan kreatifitas dan
berguna bagi anak.
2.
Keterbatasan SDM
Banyakma’had
yang menampung sekian ratus anak tetapi dengan tenaga pengajar danpengasuh yang
minim. Master ruang atauwali kelas tidak ada. Pengasuh
yangmemperhatikan keseharian anak tidak ada (atau kalaupun ada, satu pengasuh
untukpuluhan anak sehingga tidak efektif). Bahkan terkadang penjaga
sekolah atau ma’had juga tidak ada sehinggaanak keluar masuk area pendidikan
dengan bebas. Dalam kondisi tersebut ada ma’had yang tetap menerima santri
baru ataupindahan (sebagian mereka pindah karena dikeluarkan dengan sebab ahlak
buruk) yangmenambah beban bagi ma’had. Pengetahuantentang parenting bagi
orang tua dan pengasuh sangat minim.
3.
Tidak adanya SOP
Sekolahatau
ma’had tidak mempunyai standar operasiona dalam menangani anak
dankegiatan-kegiatan mereka. Akhirnyaketika menghadapi permasalahan,
misalnya anak yang dianggap nakal, pengasuh mengatasinyasesuai kehendak
mereka.
4.
Haus Kasih Sayang
Dalamusianya,
anak haus akan kasih sayang dan rasa aman. Banyak orang tua yang
memasukkan anaknya kepondok tanpa memberikan perhatian kepada anaknya dengan
baik. Surat, sms atau telepon sangat jarang. Akhirnya anak merasa
menjadi anakbuangan. Sementara itu dalam kehidupansehari-hari di pondok
anak menghadapi sekian banyak permasalahan mulai darimasalah makan-minum, anak
yang mengganggu dia, sakit dan sebagainya. Ketika tidak ada tempat
mengadu, anakpun menjadi frustasi. Ketika diamenemukan lingkungan diluar
yang sebetulnya jelek yang mampu menerima dia,memenuhi kebutuhan dia, maka
iapun akan lebih akrab dengan mereka.
5. Kurangnya
Pemantauan
Kurangnya SDM
yang ada menjadikan anak tidak terpantau. Pendidikan yang harusnya
benar-benarmendidik, yaitu mentransfer pengetahuan dan berusaha merubah
perilaku anak(karakter anak) tidak dipraktekkan dengan sempurna. Apa yang
ada sebatas mengajar, transferilmu. Anak tidak terpantau, apakahmakannya
sudah sesuai adab, apakah pergaulannya sudah sesuai syari’at, apakahsudah
menebarkan salam dsb.
Menghukum
dengan Cerdas
Banyakpengasuh yang menghukum anak dengan asal-asalan. Mereka menghukum
sebagian karena dirinya yang marah melihatkenakalan, bukan karena si anak yang
ingin diperbaiki kondisinya. Kekerasan verbal sebagai luapan emosi
sangpengasuh menunjukkan hal ini.
Menghentikan atau mengatasi anak nakaldengan hukuman fisik, nampaknya sesaat
efektif. Akan tetapi, menghukum secara fisik semata bukanlah cara yang
cerdas dantidak bisa memberikan perubahan jangka panjang bagi si anak.
Menghukum anak hendaknya diawali denganpertanyaan,”Kenapa dia berbuat seperti
itu?”. Kalau memang ada alasan yang bisa diterima, sampaikan bahwa hal
itukeliru dan jangan diulangi lagi. Misalnya terlambat shalat karena
mengerjakan PR. Kalau alasannya tidak bisa diterima,sampaikan peringatan
dan dibahas bersama hukumannya.
Hukuman hendaklah sesuatu yang mendidikdan memberikan efek jera. Hukuman
skorstidak boleh masuk sekolah misalnya, ini justru akan membuat anak merasa
senangkarena bebas bermain dan bisa jadi malah bergaul bebas dengan lingkungan
yangburuk. Hukuman fisik yang dapatmenguatkan fisik dalam
batas kemampuan, membersihkan lingkungan, menulis ayatatau surat tertentu,
menghapalkan ayat, surat atau hadits adalah contoh hukumanyang bisa diterapkan
secara bertahap sesuai dengan jenis kesalahan dan seringtidaknya melanggar.
Pengasuh seharusnya juga memberikanapresiasi atas kejujuran anak.
Seoranganak yang bersikap jujur, mengakui perbuatannya, tidak berkilah atau
berdustauntuk menghindari hukuman, semua itu hendaklah diberikan nilai tambah
denganpengurangan hukuman atau bahkan tidak diberi hukuman jika pengasuh yakin
bahwadia tidak akan mengulanginya sekalipun tidak ada hukuman saat itu.
Pemberian hukuman juga hendaknya dilakukansecara bertingkat. Mulai dari
peringatanatas pelanggaran pertama, pemberian hukuman ringan atas pelanggaran
kedua (yangsama) dan seterusnya. Oleh karenannyadisini perlu ada catatan
pelanggaran bagi santri sehingga setiap bentukpelanggaran terdata dengan baik.
Ketika memberikan hukuman, hindaripemberian kata-kata celaan.
Sebaliknya,sampaikan peringatan dengan kata-kata positif, misalnya:
“Kamu anak
yang berbakat, cobalahkalau di kelas jangan main sendiri, nanti kan waktunya
bermain ada sendiri”
“Kamu anak yang
shalih, segeralah kemasjid ketika adzan”
Berikan semangat dan do’a, misalnya:
“Kalau kamu nggak malas dan mau
belajar,kamu akan dimudahkan untuk masuk jannah”
“Jauhilah rokok, itu akan
membuathidupmu lebih sehat dan bergairah”
“Aduh anak
yang shalih, kenapaberantem? Semoga Allah melapangkan hatikalian...”
Kisah dibawah dari sebuah situs –walaupunmungkin perlu diteliti kebenarannya-
mungkin bisa diambil pelajaran:
« Seoranganak
sedang asyik bermain tanah. Sedangkan ibunya sedang menyiapkan jamuanmakan yang
diadakan sang ayah.
Belum lagi
datang para tamumenyantap makanan, tiba-tiba kedua tangan bocah itu menggenggam
debu. Ia masukke dalam rumah dan menaburkan debu itu diatas makanan yang
tersaji.
Tatkala sang
ibu masuk danmelihatnya, sontak beliau marah dan berkata,”Pergi kamu! Jadilah
kamu imam diHaramain!”
Dan
SubhanAllah, kini anak itutelah dewasa dan telah menjadi imam di masjidil
Haram! Tahukah kalian, siapaanak kecil yang di do’akan ibunya saat marah itu?
Beliau adalah Syeikh Abdurrahman as-Sudais,Imam
Masjidil Haram yang nada tartilnya menjadi favorit kebanyakan kaummuslimin di
seluruh dunia.”
Danakhirnya,
ada sebuah syair yang bisa dipetik pelajarannya:
Bila anak
sering dikritik, iabelajar mengumpat
Bila anak
sering dikasari, iabelajar berkelahi
Bila anak
sering diejek, iabelajar menjadi pemalu
Bila anak
sering dipermalukan,ia belajar merasa bersalah
Bila anak
sering dimaklumi, iabelajar menjadi sabar
Bila anak
sering disemangati, iabelajar menghargai
Bila anak
mendapatkan haknya, iabelajar bertindak adil
Bila anak merasa aman, iabelajar
percaya
Bila anak mendapat pengakuan,
iabelajar menyukai dirinya
Bila anak
diterima dan diakrabi,ia akan menemukan cinta.
Saran
Ada beberapa masukan untuk perbaikan:
1.
Sesuaikan tenaga Pengasuh dan Santri
Sebuah lembaga pendidikan, apalagi yangmondok, hendaklah menyesuaikan tenaga
pendidik dan pengasuh dengan jumlahsantri yang mampu ditampung.
Menerimasantri diluar kemampuan pengasuhan berakibat ada sebagian santri yang
tidakterbina dengan baik. Perilaku buruk darisantri yang kurang terbina
ini akhirnya mempengaruhi santri lain yangbaik dan akhirnya
menyebabkan kegagalan bagi semua.
2.
Adanya Master Ruang, Wali Kelas, PengasuhSantri
Perlunya menejmen pendidikan yang teraturtermasuk perlu dibentuknya master
ruang, wali kelas dan pengasuh. Master ruang bertanggung jawab
atasberlangsungnya kegiatan belajar mengajar pada waktunya. Wali kelas
bertanggung jawab atas kegiatanpendidikan di satu kelas. Adapunpengasuh,
mereka layaknya orang tua bagi anak dengan membawahi beberapa santri,mengamati
perilaku dan perkembangan mereka. Idealnya satu pengasuh mengawasi 5
santri.
3. Buat
SOP
Perlu dibuat standar operasional secaralengkap termasuk cara menangani anak
yang bermasalah, pola pembinaan, caramenghukum anak yang melanggar dsb dan
setiap pelaksana bertanggung jawab atasapa yang dilakukan sudah sesuai standar
atau belum.
4.
Sarana dan Prasarana Bermain dan Berkereasi
Termasuk kebutuhan anak adalah bermain. Anak juga perlu diasah otaknya
agar bisakreatif. Oleh karenanya, perlu diberikansarana bermain dan
berkreasi yang memadai. Sarana itu tidak harus mahal. Berbagai macam
bola, berbagai macam peralatan oleh raga, sarana out bondsederhana yang dibikin
dengan memperhatikan sisi keamanan (safety), saranabambu untuk berkreasi,
dedaunan, menanam pohon, memelihara hewan dsb. Sarana itu perlu diadakan,
diberikanpembinaan teknisnya dan pemberian waktu yang tepat. Kegiatan
semacam lintas alam juga sangatbermanfaat bagi anak.
5.
Kegiatan Parenting
Kegiatan parenting yang dimaksud disiniadalah kegiatan untuk pembinaan teknis
pengasuhan anak. Mengasuh anak adalah sebuah ‘seni’tersendiri.
Disana dibahas bagaimanamengatasi anak yang bermasalah, bagaimana mendidik anak
dengan baik sesuai tipeanak, bagaimana menanamkan sebuah kebiasaan baik dan
bagaimana teknismeninggalkan kebiasaan buruk. Contohlebih rinci misalnya
teknis mengatasi anak yang bertengkar, teknis mengatasianak yang enggan belajar
sebuah mata pelajaran tertentu, teknis mengajarkananak agar tidak ngompol,
teknis mengatasi anak kecanduan game, teknis menghukumanak yang melanggar
peraturan, teknis mengetahui gaya belajar anak yang tepatdsb. Kegiatan
ini perlu diikuti olehpengasuh dan orang tua sehingga ada keselarasan
pendidikan di sekolah/madrasahdengan di rumah.
6.
Komunikasi Intens antara Ortu dengan Anak diMa’had
Walaupunmasih bisa diperdebatkan, nampaknya memasukkan anak usia SD di ma’had
dengancara mondok kurang tepat. Di usiatersebut anak masih sangat
mendambakan dekapan kasih sayang orang tuanya, ingindekat dengan orang
tuanya. Di usia ituanak masih terlalu dini dihadapkan dengan sekian
tantangan dalam komunitassantri di pondok. Berbagai tekanan yangsulit
dikomunikasikan dengan orang tuanya akan bisa membuatnya frustasi.
Kedekatan hubungan dengan ortunya juga cenderungrenggang. Lain halnya
apabila ortu bisatidap hari memantau perkembangan anak di ma’had, tiap hari
datang ke pondok,menerima pengaduan perilaku anak dari pengasuh, menerima
curhat dari sang anakdst.
7. Cari MetodePembelajaran yang
Tepat, Perlu Guru BP
Tidak selalu anak yang prestasinya jelekmemang anak yang bodoh. Bisa jadi
metodepembelajarannya tidak tepat buat dia. Perhatikan bahwa banyak
ilmuwan terkenal ketika SD dianggap anak yangbodoh. Ada anak yang tepat
dengan metodevisual (dengan bantuan indra penglihatan), ada tipe auditory
(denganmendengarkan), ada tipe kinestetik (dengan demonstrasi).
Mungkin juga ada tipe lainnya. Disiniperlu guru BP atau orang yang
mampu mendalami anak yang mempunyai permasalahanuntuk dicarikan solusinya.
8.
Kegiatan Positif untuk Santri
Semakin tumbuh dan berkembang seoranganak, terlebih ketika menginjak usia
remaja, dia ingin mengembangkandirinya. Sang anak ingin diterima
dimasyarakat, diakui keberadaannya dan merasa ‘dibutuhkan’. Dari sini
apabila berhasil akan tumbuhidentitas reputasi dalam dirinya yang akan sangat
berguna dalam kehidupannyata. Jika gagal, dia akan menjadigenerasi yang
rapuh, terombang-ambing kesana kemari, sangat rentan denganpengaruh buruk
lingkungan.
Melihat keadaan diatas, santri perludibekali dengan kegiatan positif untuk
mendidik jiwa kemandirian, mengembangkandiri, sikap percaya diri, belajar
bermasyarakat. Contoh kegiatan untuk mendidik mental danmenumbuhkan
kepercayaan diri: bela diri, kegiatan belajar ceramah. Contoh kegiatan
belajar bermasyarakat dansosial: membagi buletin ke rumah penduduk, membagi
bingkisan ke orang miskin,kunjungan ke panti asuhan, kunjungan ke rumah sakit.
Contoh kegiatan wira usaha: belajar menanampohon, belajar beternak/perikanan
(yang dipraktekkan). Kegiatan lain amat banyak dan
bisadiprogram secara menarik seperti kegiatan outbond,
kunjungan/karya wisata ke pabrik, belajar naik kuda, belajar memanah,belajar tulis
menulis, membuat mading, membuat majalah, belajar senapan angin/air soft gun dll.
Jika santri tersibukkan dengan hal-halpositif disaat senggangnya, niscaya tidak
akan berpikir untuk hal-hal negatifke play station atau kumpul-kumpul dengan
lingkungan yang buruk. Kegiatan itu bisa dengan kerjasama ikhwahyang
mampu untuk diajak ta’awun.
9.
Perlunya Rapor Ahlak
Untuk
apaseorang anak nilai rapornya bagus, hapalannya banyak, tapi ahlaknya
jelek? Konon di Jepang usia SD sampai kelas 3 tidakada pelajaran.
Yang ada adalahpembentukan sikap, adab, norma bagi anak (tentu sesuai cara
pandangmereka). Bagi kita kaum muslimin tentuharusnya lebih baik
lagi. Perilaku anakterpantau sejak kecil dan ada catatannya.
10.
Pendidikan Karakter
Merubahkarakter
lebih dalam dari sekedar mengajar. Ia merupakan proses transfer ilmu,
pemantauan atas ilmuyang sudah dipelajari dan setelah itu dibimbing secara
emosional dan ilmiahuntuk mengamalkan ilmunya dan merubah karakter yang tidak
sesuai dengan ilmutersebut. Sebagai contoh, seorang anakbahasanya
terbiasa kasar. Ketika dipondok sang anak diberi pemahaman tentang
keutamaan lemah lembut dalambicara. Selanjutnya sang ustadz bersamapara
pengasuh mengamati apakah sang anak sudah mengamalkan ilmu tersebut. Jika
sudah diberi semangat untuk istiqomah,jika belum diberi semangat untuk
mengamalkannya. Jika melanggar mendapat hukuman sesuai
dengantingkatannya. Hal ini dilakukan terusmenerus dalam sekian banyak
perilaku baik dan adab-adab Islam yang mulia. Jika bisa dilakukan, insya Allah
selepas daripondok akan kita dapati pribadi-pribadi yang cemerlang.
Penutup
Demikianlah tulisan ini dibuat agar bisasebagai masukan dan bahan diskursus
lebih lanjut. Penulis tidak hendak menjelek-jelekkan lembagatertentu atau
apa yang sudah ada. Pendidikanitu tanggung jawab kita bersama.
Apayang sudah ada semoga berbarokah karena memang sesuai kebutuhan
dankemampuan. Tidak lain kita berharap tulisan ini turutmemberikan
sumbangsih bagi perbaikan pendidikan anak-anak kita, sehinggatercipta anak
didik yang takwa, cerdas, trampil (dalam arti sesungguhnya, bukansekedar
slogan) dan mampu berperan dengan baik dalam kehidupan bermasyarakat.
Semoga shalawat dan salam terlimpah kepadaRasulullah Shalallahu’alaihi
wassalam, walhamdulillaahirabbil ‘alamin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !