Minggu, 13 Oktober 2013

Ujian Santri (Cilik) dan Orangtua

Generasi yang Layu Sebelum Berkembang (Balada Anak Pondokan)
     Ketika kami baru mengenal da’wah salafiyah, sering kami memandang anak-anak ummahat yang lucu-lucu, sambil membayangkan betapa bahagianya mereka dididik oleh orang tua yang sudah mengenal dan memahami da’wah yang mulia ini. 
Senang rasanya membayangkan kelak mereka akan menjadi generasi yangtangguh yang dididik sejak dini dengan pemahaman generasi terbaik ummat. Dibandingkan dengan kami yang baru mengenal,yang melewati masa remaja tanpa mengenal manhaj yang haq ini, tentu sangat jauh.
     Sekian tahun telah berlalu, kini anak-anak kecil itu telah tumbuh menjadi remaja dan anak dewasa. Apakah mereka seperti yang kami bayangkan,menjadi remaja atau generasi yang berahlak mulia, menjadi tentara-tentara assunnah, menjadi generasi yang mencintai ilmu dan mengamalkannya?  Sayang sekali ternyata sebagian dari mereka tidak seperti itu.  Justru sebaliknya, banyak diantara mereka tumbuh menjadi generasi yang pincang, generasi yang layu sebelum berkembang.  
Kenapa bisa? 


     Tulisan ini hendak menyampaikan kepada pembaca tentang fenomena adanya  pola pendidikan  yang kurang tepat.

Ma’had Islam sebagai Alternatif Pendidikan
     Pendidikan anak sekarang adalah mendidik generasi yang akan datang. Sementara itu kita menyadari benar bahwa sekian tahun kedepan akan banyak tantangan kehidupan dan sekian banyak kemajuan teknologi yang disisi lain memberikan percepatan laju kerusakan moral. 
Dunia kini dan akan datang  penuh syubhat dan syahwat dan semakin meningkat tingkat kerusakannya. Untuk masa seperti itulah saat ini kita mempersiapkan generasi yang bisa menghadapinya. 
     Melihat tantangan yang demikian besar,orang tua yang mempelajari Islam dari sumber yang jernih danpemahaman yang benar memandang bahwa pendidikan umum yang ada tidaklah bisa mencetak generasi yang tangguh.  
Disana tidak banyak diajarkan ahlak Islam, hapalan Al Qur’an, Al Hadits, aqidah yang benar, bahayanya syirik dan cabang-cabang bahasannya.  
Justru di sekolah umum itu banyak terjadi ikhtilat (campur aduk laki-laki perempuan, sehingga anak SD-pun sudah mengenal istilah‘pacar’), tidak adanya pemantauan pergaulan di luar, tidak adanya pantauan akhlak Islam dan berbagai ajaran yang tidak sesuai dengan pemahaman Islam yang benar yang akan terlalu panjang untuk dirinci. 
Apalagi ketika melihat sistim nilai di sekolah umum banyak yang dimanipulasi dan berbagai ketidakjujuran dalam ujian yang sempat diekspos media beberapa waktu yang lalu.
     Dari ketidakpercayaan lembaga pendidikan umum itulah para orang tua  mencarisolusinya. Ada yang memasukkan anaknya ke pendidikan umum yang dipandang paling minim kerusakannya, ada yang tetap memasukkan kedalam sekolah umum dan diberikan bimbingan selepas sekolah, ada yang membuat home scholling dan yang paling praktis memasukkan anaknya kedalam ma’had. 
Sebagian berhasil dididik dengan baik, sebagian lagi gagal.

 SebagianFenomena Itu…
     Seorang ibu dari tiga anak, dua laki-lakidan satu perempuan, sebutlah Ummu Fulan, menyatakan,
”Anak-anak yang sejak kecil dipondokkan, setelah dewasa dan keluardari pondok penghinaannya terhadap sunnah justru melebihi orang awam”.
     Ketika didesak lebih lanjut untukmembuktikan pernyataannya, 
Ummu Fulan ini menyatakan,”Ada yang bertato.  Anaknya Ust Fulan sudah punya cewe’ (pacaran). Bahkan anaknya Fulanah (yang mondok disebuah ma’had, pen.) yang baruberumur 12 tahun bisa bilang ke umminya ‘Mi, hubungan baina zaujain itu diawalibegini, kemudian baru begitu, begini…’. Umminya kaget banget, terus cerita ke aku, jadi kalau yang cuma sukamain PS itu belum apa-apanya”
“Itu yang banin (anak-anak  laki-laki, pen.)”, kata Ummu Fulan sebelum melanjutkaninformasinya.
Dia melanjutkan lagitentang fenomena yang terjadi di sebagian bannat (anak-anak perempuan).
“Mereka (tentu yang dimaksud sebagianmereka, pen.) pakai niqobnya cuma menutup lobang hidung dan mulut,sementara  seluruh make up matadipakai.  Kerudungnya disingkap ke lengansambil jalan berlenggok.  Mereka biasaberhubungan (komunikasi, pen.) dengan lawan jenis memakai HP.  Maka jangan heran kalau ada yang sampai maudilamar preman karena pernah ketemuan di sebuah tempat wisata, dan masih banyaklagi…”.
     Seorang bapak dari empat anak, duaperempuan dan dua laki-laki, menceritakan kisah pendidikan anak tertuanya  (laki-laki) yang kini dia katakan‘futur’. Sang bapak ini menceritakan kisahnya ketika kami bertemu di depan masjid sebuah madrasah (sekolah). 
Anaknya ini (sebutlah namanya Zain) tadinya sekolah di SD negeri. Setelah orangtuanya makin dalam ngaji dan semangat untuk mensekolahkan anaknya di pondok,maka ketika kelas dua Zain disekolahkan di sebuah ma’had tahfidzul  Qur’an. 
Setiap hari orang tuanya antar jemput ke ma’had.  Prestasi Zain cukup bagus,  ranking satu terus di ma’had.  Satu tahun berlalu belum nampak permasalahan yang berarti. 
Ketika naik kelas tiga,anaknya dipondokkan. Di usia tersebut sang anak harus belajar mandiri, tinggal di ma’had dengan sekian banyakteman-temannya dan sekian banyak karakter anak. Sang anak secara mandiri berusaha memecahkan berbagai permasalahansehari-hari. 
Ma’had memberikan peraturananak boleh pulang libur paling cepat dua bulan sekali.  Jadi, waktu efektif sang anak ketemu denganorang tuanya hanya setelah dua bulan tinggal di ma’had. 
Dari sini mulailah permasalahan itu muncul…
     Sang bapak memperhatikan anaknya di rumah nampak sering melamun.   Ketika itu kami (yang sedang mendengarkan ceritanya) menanyakan sebabnya anaknya melamun, dia menjawab,
”Mungkin beban di pondok dan kekerasan yang ada disana…”.
     Sang bapak menceritakan pola asuh di ma’had yang penuh dengan kekerasan. Dari sang bapak dan sumber lain, inilah sebagian kejadian yang ada:
-Ada anak yang terlambat shalat jama’ah kemudian dipanggil ke kantor.  Disana dicerca, dicaci, dan tangannya dipukul dengan kabel.
-Ada anakyang bermain di masjid, kemudian dihukum dengan disuruh push up 100X dan sit up50X.  (Waktu itu sempat saya tanya kuranglebih, “Apa bener  push up 100X, lha wong saya saja di SMApaling 50X, mereka kan masih SD?”. Dijawab dengan yakin benar bahwa hukumannya diantaranya push up 100X)
-Ada anakyang dihukum dengan dijemur dari jam 9 pagi sampai menjelang dhuhur.  Sekalipun anaknya menangis tetap dibiarkan.
-Ada anakyang kedapatan main HP kemudian diminta HP-nya tapi malah disembunyikan dibalik sarungnya akhirnya anak tersebut dipukul kepalanya (hal ini disaksikan sendiri oleh adik sang pengasuh yang mondok di ma’had tersebut, kejadiannyabaru beberapa bulan yang lalu).
-Ada anakyang dijewer dengan keras sampai menimbulkan pendarahan di telinga.
     Bentakan, cacian di depan orang banyak,ejekan bahkan terkadang membawa nama orang tua, pukulan, sabetan dan sebagainyakerap diterima oleh anak-anak ketika mereka berbuat kesalahan.
Asaatidz atau pengasuh sangat ditakuti olehanak-anak.  Ketika mereka berbuat kesalahan, hal salah yang dulu mereka lakukan sering juga diungkit di kantor ketika sidang.  
Anak-anak dilarang memegang HP, dilarang internet, tetapi kesemuanya dilakukan tanpa bimbingansehingga anak-anak merasa bebas ketika diluar ma’had tanpa mengetahui bahayanya sarana IT tersebut dibalik sisi positifnya.  Di ma’had saat itu jarang waktu dan sarana bermain. 
Yang ada adalah pola pendidikan yang ketat,dengan jadwal padat, anak-anak ditempa terus untuk menghapalkan Al Qur’andisamping pelajaran penunjang lainnya.
     Hasilnya, anak-anak memang banyak yanghapalan Al Qur’annya bagus.  Akan tetapiahlaq mereka tidak terdidik.  Sebagianmereka justru akhirnya trauma dengan ma’had. Ketika mulai kelas 5 dan 6 disaat tubuh mereka semakin besar, keinginanmemberontak semakin kuat.  
Merekapun engganmelanjutkan sekolah di ma’had.  Dari satudesa yang bareng dengan Zain, selepas dari ma’had tidak ada yang melanjutkan kema’had tetapi ke sekolah umum.  
Sang pengasuh menyebut angka sekitar 60% pada keluar dari ma’had dalam kondisibermasalah, penuh rasa dendam kepada pengasuh ma'had dan trauma dengan yangnamanya pondok/ma'had.  Dan parahnyalagi, ajaran-ajaran Islam yang selama ini dipelajari di ma’had hampir tidak adabekasnya sama sekali pada diri Zain yang terlanjur trauma dengan ma’had dengansistim kekerasan yang diterimanya. 
Inilah barangkali yang menyebabkan pernyataan seorang ummahat,
”Anak-anak yang sejak kecil dipondokkan, setelah dewasa dan keluar daripondok penghinaannya terhadap sunnah justru melebihi orang awam”.
     Dalam sebuah dauroh tahun ini,  menjelang shalat penulis bertemu denganseorang ikhwah dari sebuah kota.  Singkatcerita, penulis menanyakan tentang anaknya dan pendidikan yang dijalani sanganak. 
Sang bapak itu menyampaikan bahwaanaknya itu sekarang kelas 3, mondok  disebuah ma’had.   Ma’had tempat sang anakdengan rumah bapaknya itu sangat jauh, sekitar 9 jam perjalanan.  Melihat jauhnya perjalanan dan usia sang anakyang masih kecil, sejenak penulis terdiam.  Sang bapak nampaknya memahami terdiamnya penulis seakan bertanya,''Sekecil itu sudah dipondokkan dan jauhdari orang tua?”
     Tanpa ditanya, sang bapak menceritakan kondisi anaknya dengan penuh penyesalan.
 Ketika masih kelas 1, tanda-tanda penyimpangan belum nampak.  Tetapi begitu kelas 2 dan kini menginjakkelas 3, sang bapak kecewa dengan sikap anaknya.  
Ketika di rumah, sama sekali sang anak tidakmau patuh dengan orang tua.  Anak engganmuraja’ah, disuruh melakukan pekerjaanyang ringan sekalipun sang anak tidak mau mengerjakannya.  Hubungan emosional antara anak dan orang tuasangat renggang.  Ketika di rumah, sang anak maunya main dan main terus dari apa saja permainan yang bisa dilakukan.  Sang bapak akhirnya merencanakan akan mengambil anaknya untuk disekolahkan di tempat pendidikanterdekat sebelum kondisi anaknya makin parah.
     Fenomena anak-anak pondokan yang jauh dariorang tua banyak kita temui.  Saat-saatiedul fitri bagi anak-anak kaum muslimin pada umumnya merupakan  momen yang banyak ditunggu.  Saat itu anak-anak  bertemu dan bermain dengan saudara-saudaranyayang lain dan biasanya juga para orang tua menjadikan momen liburan sebagaiwaktu untuk rekreasi.  Intinya, hari rayapenuh dengan kebahagiaan berkumpul dengan keluarga.  Akan tetapi, hal ini tidak berlaku bagianak-anak pondokan yang terlanjur jauh dengan orang tua.  Saat-saat iedul fitri, mereka lebih memilihuntuk tetap tinggal di ma'had. Tinggalnya di ma'had bisa karena pilihan sendiri atau karena orangtuanya tidak menjemputnya, dan si anak yang hubungan dengan ortu dan keluarganyaitu renggangenjoy saja di ma'had.
     Renggangnya hubungan dengan orang tua darianak-anak pondokan yang dimasukkan ke pondok sejak kecil makin parah seiringberjalannya waktu.  Mereka sepertianak-anak yatim piatu yang tidak pernah mendapatkan belaian kasih sayang dariorang tuanya.  Jangankan surat atautelepon, sms saja sangat jarang. Anak-anak itu tumbuh dan berkembang kejiwaannya di lingkunganpondok.  Masih mending kalau disanamereka mendapatkan belaian kasih sayang dari pengasuh dan asaatidz yangada.  Ketika kebetulan mereka berada dima'had yang penuh dengan kekerasan, maka jiwa mereka akan tertekan seolahberada di penjara dengan sekian penjaga yang bengis.   Anak-anakini yang semakin berkembang tubuh dan kejiwaannya, manakala jiwanya terusmenerus tertekan, menyimpan dendam kepada para pengasuhnya, haus akan kasihsayang, maka pada suatu saat akan 'meledak'.
     Bertolak belakang dengan ma’had yang penuhdengan aturan ketat, sebagian yang  lainlagi memberikan aturan yang longgar. Secara resmi memang tidak longgar. Hanya saja banyaknya santri dan sedikitnya pengasuh menjadikan adanyapenjaga seolah seperti tidak ada.  Santri bebas keluar masuk area ma’had tanpa pengawasan yang ketat.    Pergaulananak diluar ma’had sama sekali tidak terpantau oleh ortu dan pengasuh.  Ketika malam hari sebagian santri bebas kewarnet bahkan sampai bermalam disana.    Berbagai kasus kelakuan buruk santri diluarpondok akhirnya terjadi.

Masa Depan Generasi yang Futur
     Orang tua berharap di ma’had sang anakmendapatkan pendidikan yang baik.    Orangtua   banyak yang ‘pasrah bongkokan’ kepada lembagapendidikan tanpa memberikan pantauan sehari-hari, ini merupakan kesalahan.    Ketikaanaknya ternyata bermasalah, merekapun kaget. Yang mereka tahu anaknya sedang mondok, berangat dari rumah untukbelajar.  Selepas keluar atau dikeluarkandari pondok, anak-anak yang trauma ini bingung mau disekolahkan kemana. 
     Kasus yang menimpa Zain sebagai contoh diawal tulisan ini, sebagai anak yang berprestasi, rangking pertama terus dalampendidikannya di pondok, oleh ustadznya dipilih satu dari sepuluh anak pilihandalam   tahfidz, tetapi akhirnya harus dikeluarkankarena dianggap nakal (dan fakta menunjukkan akhirnya Zain terjerumus kedalamberbagai kenakalan yang parah).    Akhirnya daripada tidak sekolah (sementarasudah trauma dengan yang namanya ma’had), Zain disekolahkan di SMP milik yayasan sebuah organisasi keagamaan. 
      Demikiankisah Zain, sosok yang  bunga yang layusebelum mekar.  Ia bersama teman-temanseangkatannya ‘keluaran’ pondok  kinibersekolah di SMP  umum yang tidakdidirikan diatas syariat Islam.  Orangtua Zain sedang berusaha merintis kembali agar Zain bangkit dan mau mempelajaridan mengamalkan Islam dengan lebih baik lagi. Kita tentu berharap akhir yang baik baginya...



Ledakan Itu...
     Bagi para pembaca, saya yakin dulu pernahmengenyam pendidikan SD.  Saat itu kitasangat hormat dan patuh kepada bapak dan ibu guru.  Ketika di jalan bertemu dengan guru, kitaberikan salam penghormatan.  Di sekolahtidak akan berani berbuat kurang ajar kepada guru, baik dengan perkataan maupunperbuatan.  Apakah yang seperti ituberlaku bagi ma'had yang penuh anak-anak bermasalah?
     Anak-anak yang setiap hari mengalamipenyiksaan fisik (dengan hukuman fisik), mental (dengan cacian, hinaan) dankekerasan verbal (bentakan),  apa yangmereka terima tertanam dalam jiwa.  Merekaada yang mengungkapkan kekesalannya dalam bentuk tulisan.  Ada yang menulis "Ustadz fulanb******", "Ammi fulan a**" dan lainnya.  Sebagian mereka berangan-angan mempunyaifisik yang besar hingga bisa melawan kekerasan yang mereka alami.
     Diantara puncak ledakan dari berbagaipermasalahan yang dialami di ma’had itu adalah enggan untuk mondok, engganuntuk belajar di ma’had.  Dari kebenciankepada pengasuh, asaatidz dan ma’had, akhirnya berimbas kepada membenci ilmuyang mereka ajarkan.  Kebencian kepadailmu berimbas kepada keenganan untuk mengamalkan.  Mereka, anak-anak yang trauma ini, berusahamenghilangkan setiap kenangan buruk di ma’had dan menghilangkan segala sesuatuyang bisa mengingatkan dengan ma’had.  Maka tidak heran kalau anak-anak yang layu sebelum berkembang itu hampirtidak ada bekas secara lahiriah bahwa ternyata mereka pernah sekian tahun dima’had, bahwa mereka pernah hapal sekian juz dari Al Qur’an, bahwa merekapernah berpenampilan sesuai dengan sunnah.

Pola Pergaulan dalam Ma’had
     Ketika berada di kelas, santri adalah‘milik’ ustadz yang mengajar.  Ketika diluar kelas, santri adalah ‘milik’ para pengasuh (‘ammi atau ‘ammah).  Ketika pengasuh tidak ada, santri adalah‘milik’ santri lain yang lebih kuat.  Kondisi yang kedua dan ketiga didalam ma’had lebih banyak waktunya.
     Dengan keterbatasan waktu dan tenaga yangdimiliki, seorang ustadz berusaha memberikan materi dengan sebaik-baiknya.  Ustadz juga memberikan perhatian kepada parasantri  terhadap perilaku anak didiknya.  Akan tetapi, apalah daya seorang ustadz.  Dengan sedikitnya asaatidz sementara yangdihadapi adalah ratusan santri dengan sekian banyak permasalahannya, jelasperhatian ustadz kurang efektif. 
     Lapis kedua yang membimbing anak adalahpara pengasuh, ‘ammi untuk banin dan ‘ammah untuk banat.  Mereka lulusan dari berbagai ma’had atauorang yang telah sekian lama menuntut ilmu. Akan tetapi, sedikitnya pengasuh, banyaknya santri,  kurangnya kemampuan dalam membina santri,tidak adanya SOP (standar operasional) yang jelas, menjadikan mereka berpikirdan ‘berimprovisasi’ sendiri menangani anak-anak yang melanggar peraturan.  Bentakan dan hukuman fisik secara ‘instan’memang nampak efektif dalam sesaat menahan laju kenakalan.  Akan tetapi, makin hari dosis hukuman akansemakin meningkat seiring ‘terbiasanya’ anak dengan hukuman.  Makin keras dan makin keras.
     Lapis ketiga yang ‘membimbing’ anak adalahsantri yang lain.  Bahasa, perilaku dankebiasaan dari santri akan saling berpengaruh. Yang mempunyai fisik kuat, dia akan merajai.  Yang mampu mengorganisir teman-temannya, dia akanmembuat semacam geng terselubung di ma’had. Akhirnya yang lemah akan semakin tertekan.  Ketika mendapat perlakuan buruk dariteman-temannya, dia tidak ada tempat mengadu. Akhirnya dia mendapat tekanan baik fisik maupun mental dan berujungkeinginan untuk keluar dari ma’had.

Benarkah Nakal?
     Ketika memarahi anak, sebagian pengasuhmemberikan julukan buruk: anak nakal, tidak pakai otak, tidak bisa diatur,biang kerok dan julukan buruk lainnya. Padahal penyebutan ini secara berulang akan berakibat buruk bagi anak.
     Seorang anak apabila mendapatkan julukannakal secara berulang dari berbagai pengasuh dan banyak orang, dia akan yakindirinya memang nakal dan akan melakukan tindakan sesuai dengan predikat yangdisandangnya.   Awalnya memang sebutanitu tidak dia inginkan.  Dia merasakankepedihan dengan predikat nakalnya. Akhirnya dia terbiasa dan berusaha melawannya dengan kenakalan yanglebih besar lagi.  Bisa jadi sebetulnyadia awalnya anak yang baik.  Hanya sajaketika lingkungan menggelarinya sebagai anak nakal, padahal bisa jadi‘kenakalannya’ karena ketidak tahuannya atau karena rasa ingin tahunya, makaakhirnya iapun menjadi anak yang nakal sesungguhnya dan makin parah.
     Seorang anak yang dilarang memegang HP,internet, Play Station, merokok, bergaul bebas dengan berbagai kalangan di luardan lainnya, ketika masih kelas 1-3 SD barangkali masih nurut.  Akan tetapi ketika usianya semakin bertambah,rasa keingin tahuannya semakin besar dan sarana untuk itu (HP, internet, PS,pergaulan bebas) terpampang diluar ma’had (kan tidak mungkin seorang anakterkungkung di pondok terus?). Pengetahuan atau bimbingan terhadap sarana yang mempunyai dua sisiseperti HP dan internet kurang dia dapatkan. Disisi lain dia melihat asaatidz dan pengasuh ma’had bebas ber-HP-riadan ma’had sendiri mempunyai situs internet atau alamat di internet untukmengakses informasi dari ma’had.    Makasang anak dalam posisi kebingungan. Apanya yang salah dari gadget tersebut? Maka ketika kemudian dia mengakses internet di warnet yang bertebarandisekitar ma’had dan ,  berkomunikasikepada sekian banyak kalangan lewat HP diluar ma’had,  main PS sampai tertidur di rentalan dsb,dapatkah mereka disalahkan begitu saja?
     Makna ‘nakal’ itu sendiri perludidefinisikan ulang.   Anak adalah sosokyang masih bersih fitrahnya.  Bagaikankertas, ia adalah kertas yang masih putih polos tanpa noda.  Maka ketika sang anak bertindak sesuatu yangmenurut kita nakal, perlu dipertanyakan darimana kenakalan itu muncul?  Seberapa jauh orang tua memberikan bimbingandan pengawasan kepada anak?  Kalau anakdipondokkan, seberapa jauh kebutuhannya bisa terpenuhi?  Kebutuhan disini termasuk didalamnyakebutuhan akan rasa aman, kebutuhan akan kasih sayang, kebutuhan akanperhatian, kebutuhan akan sifat dasar anak yaitu bermain, kebutuhan untukmengembangkan emosi dan sosialnya serta yang lainnya.
     Sikap bandel barangkali karena dia ingindiperhatikan, haus akan kasih sayang. Anak yang asyik menggambar ketika pelajaran berlangsung barangkali karenakeinginan untuk berimajinasi atau berkreasi tidak tersalurkan dengan baik.  Anak yang suka lari-lari di masjid mungkinkarena sarana dan waktu olah raga yang kurang. Anak yang mulai dekat dengan sekelompok anak muda ugal-ugalan diluarrumah atau ma’had, mungkin karena mereka yang bisa menerima dia, sementaraketika di ma’had atau di rumah isinya disalah-salahkan dan diberi sikapkeras.  Anak yang tidak betah di rumahatau ma’had, mungkin karena ia sekedar kita jadikan obyek, seperti robot yangdiisi program, bukan kita jadikan sahabat atau teman bermain berbagi suka danduka. Maka ketika melihat anak yang kita pandang nakal, cobalah dekati, tatapmatanya dengan lembut, berbicaralah dari hati ke hati, cari apa yang diainginkan (lihat Menghukum dengan Cerdas).  Sampaikan bahwa apa yang ia lakukan tidakbenar dan carilah solusi agar perbuatannya itu dicarikan alternatif yangbaik.  Setelah itu dibahas bersamahukuman apabila melanggar dengan sengaja.

Kenapa Bisa Begitu?
     Fenomena banyaknya santri yang futurjustru setelah dimasukkan ke pondok pesantren, menurut hemat kami terjadikarena beberapa faktor:
1.       Keterbatasan Sarana dan Prasarana    
Banyakma’had yang didirikan dengan sarana yang terbatas.  Anak-anak bisa belajar dan istirahat denganbaik.  Hanya saja kebutuhan mereka untukbermain dan mengeksplorasi alam semesta kurang diberikan sarana yangmemadai.  Sarana tersebut tidak harusmahal, yang penting bisa menumbuhkan kreatifitas dan berguna bagi anak.
2.      Keterbatasan SDM
Banyakma’had yang menampung sekian ratus anak tetapi dengan tenaga pengajar danpengasuh yang minim.  Master ruang atauwali kelas tidak ada.  Pengasuh yangmemperhatikan keseharian anak tidak ada (atau kalaupun ada, satu pengasuh untukpuluhan anak sehingga tidak efektif). Bahkan terkadang penjaga sekolah atau ma’had juga tidak ada sehinggaanak keluar masuk area pendidikan dengan bebas. Dalam kondisi tersebut ada ma’had yang tetap menerima santri baru ataupindahan (sebagian mereka pindah karena dikeluarkan dengan sebab ahlak buruk) yangmenambah beban bagi ma’had.  Pengetahuantentang parenting bagi orang tua dan pengasuh sangat minim.
3.      Tidak adanya SOP
Sekolahatau ma’had tidak mempunyai standar operasiona dalam menangani anak dankegiatan-kegiatan mereka.  Akhirnyaketika menghadapi permasalahan, misalnya anak yang dianggap nakal, pengasuh mengatasinyasesuai kehendak mereka. 
4.      Haus Kasih Sayang
Dalamusianya, anak haus akan kasih sayang dan rasa aman.  Banyak orang tua yang memasukkan anaknya kepondok tanpa memberikan perhatian kepada anaknya dengan baik.  Surat, sms atau telepon sangat jarang.  Akhirnya anak merasa menjadi anakbuangan.  Sementara itu dalam kehidupansehari-hari di pondok anak menghadapi sekian banyak permasalahan mulai darimasalah makan-minum, anak yang mengganggu dia, sakit dan sebagainya.  Ketika tidak ada tempat mengadu, anakpun menjadi frustasi.  Ketika diamenemukan lingkungan diluar yang sebetulnya jelek yang mampu menerima dia,memenuhi kebutuhan dia, maka iapun akan lebih akrab dengan mereka.
5.      Kurangnya Pemantauan
Kurangnya SDM yang ada menjadikan anak tidak terpantau.  Pendidikan yang harusnya benar-benarmendidik, yaitu mentransfer pengetahuan dan berusaha merubah perilaku anak(karakter anak) tidak dipraktekkan dengan sempurna.  Apa yang ada sebatas mengajar, transferilmu.  Anak tidak terpantau, apakahmakannya sudah sesuai adab, apakah pergaulannya sudah sesuai syari’at, apakahsudah menebarkan salam dsb.

Menghukum dengan Cerdas
     Banyakpengasuh yang menghukum anak dengan asal-asalan.  Mereka menghukum sebagian karena dirinya yang marah melihatkenakalan, bukan karena si anak yang ingin diperbaiki kondisinya.  Kekerasan verbal sebagai luapan emosi sangpengasuh menunjukkan hal ini.   
     Menghentikan atau mengatasi anak nakaldengan hukuman fisik, nampaknya sesaat efektif. Akan tetapi, menghukum secara fisik semata bukanlah cara yang cerdas dantidak bisa memberikan perubahan jangka panjang bagi si anak. 
     Menghukum anak hendaknya diawali denganpertanyaan,”Kenapa dia berbuat seperti itu?”. Kalau memang ada alasan yang bisa diterima, sampaikan bahwa hal itukeliru dan jangan diulangi lagi. Misalnya terlambat shalat karena mengerjakan PR.  Kalau alasannya tidak bisa diterima,sampaikan peringatan dan dibahas bersama hukumannya. 
     Hukuman hendaklah sesuatu yang mendidikdan memberikan efek jera.  Hukuman skorstidak boleh masuk sekolah misalnya, ini justru akan membuat anak merasa senangkarena bebas bermain dan bisa jadi malah bergaul bebas dengan lingkungan yangburuk.    Hukuman fisik yang dapatmenguatkan fisik dalam batas kemampuan, membersihkan lingkungan, menulis ayatatau surat tertentu, menghapalkan ayat, surat atau hadits adalah contoh hukumanyang bisa diterapkan secara bertahap sesuai dengan jenis kesalahan dan seringtidaknya melanggar.
     Pengasuh seharusnya juga memberikanapresiasi atas kejujuran anak.  Seoranganak yang bersikap jujur, mengakui perbuatannya, tidak berkilah atau berdustauntuk menghindari hukuman, semua itu hendaklah diberikan nilai tambah denganpengurangan hukuman atau bahkan tidak diberi hukuman jika pengasuh yakin bahwadia tidak akan mengulanginya sekalipun tidak ada hukuman saat itu.
     Pemberian hukuman juga hendaknya dilakukansecara bertingkat.  Mulai dari peringatanatas pelanggaran pertama, pemberian hukuman ringan atas pelanggaran kedua (yangsama) dan seterusnya.  Oleh karenannyadisini perlu ada catatan pelanggaran bagi santri sehingga setiap bentukpelanggaran terdata dengan baik.
     Ketika memberikan hukuman, hindaripemberian kata-kata celaan.  Sebaliknya,sampaikan peringatan dengan kata-kata positif, misalnya:
“Kamu anak yang berbakat, cobalahkalau di kelas jangan main sendiri, nanti kan waktunya bermain ada sendiri”
“Kamu anak yang shalih, segeralah kemasjid ketika adzan”
Berikan semangat dan do’a, misalnya:
“Kalau kamu nggak malas dan mau belajar,kamu akan dimudahkan untuk masuk jannah”
“Jauhilah rokok, itu akan membuathidupmu lebih sehat dan bergairah”
“Aduh anak yang shalih, kenapaberantem?  Semoga Allah melapangkan hatikalian...”
     Kisah dibawah dari sebuah situs –walaupunmungkin perlu diteliti kebenarannya- mungkin bisa diambil pelajaran:
« Seoranganak sedang asyik bermain tanah. Sedangkan ibunya sedang menyiapkan jamuanmakan yang diadakan sang ayah.
Belum lagi datang para tamumenyantap makanan, tiba-tiba kedua tangan bocah itu menggenggam debu. Ia masukke dalam rumah dan menaburkan debu itu diatas makanan yang tersaji.
Tatkala sang ibu masuk danmelihatnya, sontak beliau marah dan berkata,”Pergi kamu! Jadilah kamu imam diHaramain!”
Dan SubhanAllah, kini anak itutelah dewasa dan telah menjadi imam di masjidil Haram! Tahukah kalian, siapaanak kecil yang di do’akan ibunya saat marah itu?
Beliau adalah Syeikh Abdurrahman as-Sudais,Imam Masjidil Haram yang nada tartilnya menjadi favorit kebanyakan kaummuslimin di seluruh dunia.”
Danakhirnya, ada sebuah syair yang bisa dipetik pelajarannya:

Bila anak sering dikritik, iabelajar mengumpat
Bila anak sering dikasari, iabelajar berkelahi
Bila anak sering diejek, iabelajar menjadi pemalu
Bila anak sering dipermalukan,ia belajar merasa bersalah
Bila anak sering dimaklumi, iabelajar menjadi sabar
Bila anak sering disemangati, iabelajar menghargai
Bila anak mendapatkan haknya, iabelajar bertindak adil
Bila anak merasa aman, iabelajar percaya
Bila anak mendapat pengakuan, iabelajar menyukai dirinya
Bila anak diterima dan diakrabi,ia akan menemukan cinta.

Saran
     Ada beberapa masukan untuk perbaikan:
1.  Sesuaikan tenaga Pengasuh dan Santri
     Sebuah lembaga pendidikan, apalagi yangmondok, hendaklah menyesuaikan tenaga pendidik dan pengasuh dengan jumlahsantri yang mampu ditampung.  Menerimasantri diluar kemampuan pengasuhan berakibat ada sebagian santri yang tidakterbina dengan baik.  Perilaku buruk darisantri yang kurang terbina ini akhirnya mempengaruhi santri   lain yangbaik dan akhirnya menyebabkan kegagalan bagi semua.

2.  Adanya Master Ruang, Wali Kelas, PengasuhSantri
     Perlunya menejmen pendidikan yang teraturtermasuk perlu dibentuknya master ruang, wali kelas dan pengasuh.  Master ruang bertanggung jawab atasberlangsungnya kegiatan belajar mengajar pada waktunya.  Wali kelas bertanggung jawab atas kegiatanpendidikan di satu kelas.  Adapunpengasuh, mereka layaknya orang tua bagi anak dengan membawahi beberapa santri,mengamati perilaku dan perkembangan mereka. Idealnya satu pengasuh mengawasi 5 santri.
3.  Buat SOP
     Perlu dibuat standar operasional secaralengkap termasuk cara menangani anak yang bermasalah, pola pembinaan, caramenghukum anak yang melanggar dsb dan setiap pelaksana bertanggung jawab atasapa yang dilakukan sudah sesuai standar atau belum.
4.  Sarana dan Prasarana Bermain dan Berkereasi
     Termasuk kebutuhan anak adalah bermain.  Anak juga perlu diasah otaknya agar bisakreatif.  Oleh karenanya, perlu diberikansarana bermain dan berkreasi yang memadai. Sarana itu tidak harus mahal. Berbagai macam bola, berbagai macam peralatan oleh raga, sarana out bondsederhana yang dibikin dengan memperhatikan sisi keamanan (safety), saranabambu untuk berkreasi, dedaunan, menanam pohon, memelihara hewan dsb.  Sarana itu perlu diadakan, diberikanpembinaan teknisnya dan pemberian waktu yang tepat.  Kegiatan semacam lintas alam juga sangatbermanfaat bagi anak.
5.  Kegiatan Parenting
    Kegiatan parenting yang dimaksud disiniadalah kegiatan untuk pembinaan teknis pengasuhan anak.  Mengasuh anak adalah sebuah ‘seni’tersendiri.  Disana dibahas bagaimanamengatasi anak yang bermasalah, bagaimana mendidik anak dengan baik sesuai tipeanak, bagaimana menanamkan sebuah kebiasaan baik dan bagaimana teknismeninggalkan kebiasaan buruk.  Contohlebih rinci misalnya teknis mengatasi anak yang bertengkar, teknis mengatasianak yang enggan belajar sebuah mata pelajaran tertentu, teknis mengajarkananak agar tidak ngompol, teknis mengatasi anak kecanduan game, teknis menghukumanak yang melanggar peraturan, teknis mengetahui gaya belajar anak yang tepatdsb.  Kegiatan ini perlu diikuti olehpengasuh dan orang tua sehingga ada keselarasan pendidikan di sekolah/madrasahdengan di rumah.
6.  Komunikasi Intens antara Ortu dengan Anak diMa’had
      Walaupunmasih bisa diperdebatkan, nampaknya memasukkan anak usia SD di ma’had dengancara mondok kurang tepat.  Di usiatersebut anak masih sangat mendambakan dekapan kasih sayang orang tuanya, ingindekat dengan orang tuanya.  Di usia ituanak masih terlalu dini dihadapkan dengan sekian tantangan dalam komunitassantri di pondok.  Berbagai tekanan yangsulit dikomunikasikan dengan orang tuanya akan bisa membuatnya frustasi.  Kedekatan hubungan dengan ortunya juga cenderungrenggang.  Lain halnya apabila ortu bisatidap hari memantau perkembangan anak di ma’had, tiap hari datang ke pondok,menerima pengaduan perilaku anak dari pengasuh, menerima curhat dari sang anakdst.
7.  Cari MetodePembelajaran yang Tepat, Perlu Guru BP
     Tidak selalu anak yang prestasinya jelekmemang anak yang bodoh.  Bisa jadi metodepembelajarannya tidak tepat buat dia. Perhatikan bahwa banyak ilmuwan terkenal ketika SD dianggap anak yangbodoh.  Ada anak yang tepat dengan metodevisual (dengan bantuan indra penglihatan), ada tipe auditory (denganmendengarkan), ada tipe kinestetik (dengan demonstrasi).  Mungkin juga ada tipe lainnya.  Disiniperlu guru BP atau orang yang mampu mendalami anak yang mempunyai permasalahanuntuk dicarikan solusinya.
8.  Kegiatan Positif untuk Santri
     Semakin tumbuh dan berkembang seoranganak, terlebih ketika menginjak usia remaja, dia ingin mengembangkandirinya.  Sang anak ingin diterima dimasyarakat, diakui keberadaannya dan merasa ‘dibutuhkan’.  Dari sini apabila berhasil akan tumbuhidentitas reputasi dalam dirinya yang akan sangat berguna dalam kehidupannyata.  Jika gagal, dia akan menjadigenerasi yang rapuh, terombang-ambing kesana kemari, sangat rentan denganpengaruh buruk lingkungan.
     Melihat keadaan diatas, santri perludibekali dengan kegiatan positif untuk mendidik jiwa kemandirian, mengembangkandiri, sikap percaya diri, belajar bermasyarakat.  Contoh kegiatan untuk mendidik mental danmenumbuhkan kepercayaan diri: bela diri, kegiatan belajar ceramah.  Contoh kegiatan belajar bermasyarakat dansosial: membagi buletin ke rumah penduduk, membagi bingkisan ke orang miskin,kunjungan ke panti asuhan, kunjungan ke rumah sakit.  Contoh kegiatan wira usaha: belajar menanampohon, belajar beternak/perikanan (yang dipraktekkan).    Kegiatan lain amat banyak dan bisadiprogram secara menarik seperti kegiatan outbond, kunjungan/karya wisata ke pabrik, belajar naik kuda, belajar memanah,belajar tulis menulis, membuat mading, membuat majalah, belajar senapan angin/air soft gun dll.  Jika santri tersibukkan dengan hal-halpositif disaat senggangnya, niscaya tidak akan berpikir untuk hal-hal negatifke play station atau kumpul-kumpul dengan lingkungan yang buruk.  Kegiatan itu bisa dengan kerjasama ikhwahyang mampu untuk diajak ta’awun.
9.  Perlunya Rapor Ahlak
Untuk apaseorang anak nilai rapornya bagus, hapalannya banyak, tapi ahlaknya jelek?  Konon di Jepang usia SD sampai kelas 3 tidakada pelajaran.  Yang ada adalahpembentukan sikap, adab, norma bagi anak (tentu sesuai cara pandangmereka).  Bagi kita kaum muslimin tentuharusnya lebih baik lagi.  Perilaku anakterpantau sejak kecil dan ada catatannya.
10.  Pendidikan Karakter
Merubahkarakter lebih dalam dari sekedar mengajar. Ia merupakan proses transfer ilmu, pemantauan atas ilmuyang sudah dipelajari dan setelah itu dibimbing secara emosional dan ilmiahuntuk mengamalkan ilmunya dan merubah karakter yang tidak sesuai dengan ilmutersebut.  Sebagai contoh, seorang anakbahasanya terbiasa kasar.  Ketika dipondok sang anak diberi pemahaman tentang keutamaan lemah lembut dalambicara.  Selanjutnya sang ustadz bersamapara pengasuh mengamati apakah sang anak sudah mengamalkan ilmu tersebut.  Jika sudah diberi semangat untuk istiqomah,jika belum diberi semangat untuk mengamalkannya.  Jika melanggar mendapat hukuman sesuai dengantingkatannya.  Hal ini dilakukan terusmenerus dalam sekian banyak perilaku baik dan adab-adab Islam yang mulia.  Jika bisa dilakukan, insya Allah selepas daripondok akan kita dapati pribadi-pribadi yang cemerlang.

Penutup
     Demikianlah tulisan ini dibuat agar bisasebagai masukan dan bahan diskursus lebih lanjut.  Penulis tidak hendak menjelek-jelekkan lembagatertentu atau apa yang sudah ada.  Pendidikanitu tanggung jawab kita bersama.  Apayang sudah ada semoga berbarokah karena memang sesuai kebutuhan dankemampuan.   Tidak lain kita berharap tulisan ini turutmemberikan sumbangsih bagi perbaikan pendidikan anak-anak kita, sehinggatercipta anak didik yang takwa, cerdas, trampil (dalam arti sesungguhnya, bukansekedar slogan) dan mampu berperan dengan baik dalam kehidupan bermasyarakat.  Semoga shalawat dan salam terlimpah kepadaRasulullah Shalallahu’alaihi wassalam, walhamdulillaahirabbil ‘alamin.
  
 #copast from my friend..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !